Shalat dan Hukumnya

Penulis: Al - Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari -hafidzhahullah-

Shalat, ibadah yang demikian utama ini ternyata banyak yang meninggalkannya. Sebagian besar memang dilatari kemalasan, namun tak sedikit yang mengingkari kewajibannya. Yang disebut belakangan kebanyakan menjangkiti sebagian dari mereka yang belajar “Islam” ke negara-negara Barat.

Shalat sebagaimana yang kita ketahui merupakan tiang agama, seperti dinyatakan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam haditsnya: “Pokok dari perkara ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabillah.” (HR. Ahmad 5/231, At-Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu Majah no. 3979, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibnu Majah).

Secara bahasa, shalat berarti doa dengan kebaikan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: “Shalatlah untuk mereka karena sesungguhnya shalatmu adalah ketenangan(1) bagi mereka.” (At-Taubah: 103)
Makna “bershalatlah untuk mereka” adalah berdoalah untuk mereka.(2)

Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian diundang (untuk makan) maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Bila ia dalam keadaan tidak berpuasa, hendaklah ia makan (jamuan yang disediakan oleh tuan rumah, pen.). Namun bila ia sedang berpuasa maka hendaknya ia mendoakan tuan rumah.” (HR. Muslim no. 1431)

Ibadah yang disyariatkan ini dinamakan dengan nama doa/shalat karena tercakup di dalamnya doa-doa. Adapun makna shalat dalam syariat adalah peribadatan kepada Allah k dengan ucapan dan perbuatan yang telah diketahui, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai syarat-syarat yang khusus dan dengan niat. (Al-Fiqhu ‘Alal Madzhabil Arba’ah, 1/160, Subulus Salam, 1/169, Asy-Syarhul Mumti’, 1/343, Taudhihul Ahkam, 1/469, Taisirul ‘Allam, 1/109).

Ibnu Qudamah menyatakan, bila dalam syariat disebutkan perkara shalat atau hukum yang berkaitan dengan shalat maka shalat ini dipalingkan dari maknanya secara bahasa kepada pengertian shalat secara syar’i(3). Shalat ini hukumnya wajib menurut Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Dari Al-Qur`an, kita dapatkan kewajibannya antara lain dalam: “Tidaklah mereka itu diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuknya dalam keadaan hanif (condong kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan) dan agar mereka menegakkan shalat serta membayar zakat. Yang demikian itu adalah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)

Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wa Ta'la berfirman: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa`: 103)

Dari As-Sunnah, shalat termasuk rukun Islam yang tersebut dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiallahu'anhu dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat laa ilaaha illallah dan Muhammadan Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 113)

Nabi bersabda kepada Mu’adz Radhiallahu'anhu saat mengutusnya ke negeri Yaman untuk mendakwahkan Islam kepada ahlul kitab yang tinggal di negeri tersebut: “Ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah memfardhukan kepada mereka lima shalat dalam sehari semalam.” (HR. Al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 121)

Dari sisi ijma’, umat ini telah sepakat akan wajibnya shalat lima waktu sehari semalam. Tak ada seorang pun yang menentang kewajibannya, sampai-sampai ahlul bid’ah pun mengakui kewajibannya. (Maratibul Ijma’, Ibnu Hazm, hal. 47, Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, Asy-Syarhul Mumti’, 1/345)

Ibadah yang satu ini memiliki banyak faedah yang tak terbatas, baik dari sisi agama maupun dunia. Ibadah ini sangat bermanfaat bagi kesehatan, memberi dampak positif dalam hubungan kemasyarakatan dan keteraturan hidup (Taisirul ‘Allam, 1/109). Di dalamnya pun tercakup banyak macam ibadah. Selain doa, di dalamnya terdapat dzikrullah, ada tilawah Al-Qur`an, berdiri di hadapan Allah, ruku’, sujud, tasbih dan takbir. Karenanya, shalat merupakan induk/ puncak ibadah badaniyyah (ibadah yang dilakukan oleh tubuh). (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 1/79)

Penyebutan Shalat dalam Al-Qur`An

Banyak sekali ayat-ayat Allah yang menyebutkan tentang shalat. Terkadang digabungkan penyebutannya dengan dzikir (mengingat Allah) seperti dalam ayat berikut ini: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan untuk mengingat Allah (berdzikir kepada Allah l) dengan banyak.” (Al-‘Ankabut: 45)

Tegakkanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaha: 14)

Terkadang penyebutannya digandengkan dengan zakat seperti dalam ayat: “Tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (Al-Baqarah: 110)
Terkadang pula digandengkan dengan kesabaran: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian….” (Al-Baqarah: 45) Dan lain sebagainya.

Keutamaan Shalat dan Kedudukannya dalam Islam

Shalat yang selalu kita kerjakan setiap hari, memiliki kedudukan yang besar dan agung dalam agama ini. Ibadah yang mulia ini disyariatkan pada seluruh umat, tidak hanya pada umat Muhammad Salallahu 'Alaihi Wa Sallam. Sebagaimana perintah Allah k kepada Maryam ibunda ‘Isa 'Alaihisallam : “Wahai Maryam, taatilah Rabbmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Ali ‘Imran: 43)

Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan shalat, juga karena shalat merupakan penghubung antara seseorang dengan Rabbnya. Rasulullah n menerima kewajiban ibadah ini langsung dari Allah k tanpa perantara, pada malam Mi’raj di Sidratul Muntaha di langit ketujuh, sekitar tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/344, Taudhihul Ahkam, 1/469)

Begitu pentingnya shalat ini, sampai-sampai Allah k memerintahkan untuk menjaganya baik di waktu muqim (menetap di kediaman, tidak bepergian) maupun di waktu safar (bepergian jauh/keluar kota), baik dalam keadaan aman maupun dalam keadaan mencekam seperti situasi perang. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: “Jagalah oleh kalian semua shalat dan jagalah pula shalat wustha (shalat ‘Ashar). Berdirilah karena Allah dalam shalat kalian dengan khusyu’. Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya) maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, sebutlah/ingatlah Allah sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui.” (Al-Baqarah: 238-239)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala pun mengancam orang-orang yang menyia-nyiakan shalat: “Lalu datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman:“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang melalaikan shalat mereka.” (Al-Ma’un: 4-5)

Yang perlu diketahui, shalat ini merupakan kewajiban pertama yang harus ditunaikan seorang hamba setelah ia mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam ayat: “Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian menjumpai mereka, tangkaplah mereka, kepung dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dari kesyirikan mereka dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.” (At-Taubah: 5)

Shalat yang dikerjakan dengan benar akan mencegah dari perbuatan kemungkaran:“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (Al-‘Ankabut: 45)

Mengerjakan shalat juga akan menghapuskan kesalahan-kesalahan. Karena shalat merupakan kebajikan utama, sementara kebajikan akan menghapus kejelekan: “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud: 114)

Di antara bukti yang menunjukkan bahwa shalat merupakan amalan yang tinggi dan utama bila dibandingkan amalan-amalan lain adalah Allah Subhanahu Wa Ta'ala melarang seseorang melakukannya sampai ia mencuci anggota-anggota wudhunya, Ditambah dengan memerhatikan kebersihan badan seluruhnya. Demikian pula pakaian dan tempat shalat harus suci/bersih dari kotoran/najis. Bila tidak mendapatkan air atau udzur untuk menggunakannya, maka ia dapat menggantinya dengan tayammum. (Ta’zhim Qadri Ash-Shalah, Al-Imam Al-Marwazi, 1/170)

Banyak hadits yang menyebutkan keutamaan dan tingginya kedudukan shalat dalam agama ini, di antaranya: Anas bin Malik Radhiallahu'anhu berkata, “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1358 karena banyak jalannya)

Abu Hurairah  Radhiallahu'anhu pernah mendengar Rasulullah  Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Apa pendapat kalian bila ada sebuah sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, di mana dalam setiap harinya ia mandi di sungai tersebut sebanyak lima kali, apa yang engkau katakan tentang hal itu apakah masih tertinggal kotoran padanya?” Para sahabat menjawab, “Tentu tidak tertinggal sedikitpun kotoran padanya.” Rasulullah bersabda, “Yang demikian itu semisal shalat lima waktu. Allah menghapus kesalahan-kesalahan dengan shalat tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 528 dan Muslim no. 1520)

Jumlah Shalat Fardhu

Shalat diwajibkan setiap malam dan siangnya sebanyak lima kali. Inilah yang dikatakan shalat fardhu(4) atau shalat wajib. Shalat fardhu ini disebutkan dalam hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah Radhiallahu'anhu, ia berkisah: “Datang seorang lelaki dari penduduk Najd dengan rambut yang kusut masai, terdengar pekik suaranya yang keras (dari kejauhan) namun tidak dapat dipahami apa yang ia katakan, hingga ia mendekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Rasulullah n, bersabda, ‘Shalat lima waktu sehari semalam.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Apakah ada shalat lain yang wajib aku tunaikan selain shalat lima waktu tersebut?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak mengerjakan shalat tathawwu’ (shalat sunnah)…’.” (HR. Al-Bukhari no. 46 dan Muslim no. 100)

Al-Imam Asy-Syaukani berkata, “Hadits ini menunjukkan tentang shalat yang difardhukan kepada para hamba (yaitu shalat lima waktu, pent.).” (Nailul Authar,1/398)

Lima shalat yang diwajibkan tersebut adalah shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan ‘Isya. Kelima shalat ini hukumnya fardhu ‘ain, dibebankan kepada setiap muslim yang mukallaf, laki-laki ataupun perempuan, orang merdeka ataupun budak. Di sana ada pula shalat yang hukumnya fardhu kifayah yaitu shalat jenazah. Shalat ini hanya dibebankan kepada orang yang hadir di tempat tersebut, bila sudah ada yang menunaikannya maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. (Al-Muhalla, 2/3)

Kepada Siapa Shalat Ini Diwajibkan?

Shalat diwajibkan kepada setiap muslim yang mukallaf, yakni yang telah baligh dan berakal. Adapun orang yang belum baligh dan tidak berakal gugurlah darinya kewajiban tersebut. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiallahu'anha dari Nabi Shalallahu'alaihi Wa Sallam beliau bersabda: “Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur sampai ia bangun, orang gila sampai kembali akalnya atau sadar, dan anak kecil hingga ia besar.” (HR. Abu Dawud no. 4398 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil no. 297)

Dengan demikian orang yang tidur dan pingsan, orang gila, dan anak kecil, tidak dibebankan kewajiban shalat atas mereka sampai hilang penghalang yang ada. Yakni orang yang tertidur telah bangun dari tidur, orang yang pingsan telah siuman dari pingsannya, orang gila telah pulih dari sakit gilanya atau telah kembali akalnya, sedangkan anak kecil telah datang masa balighnya, di antaranya dengan tanda mimpi basah (keluar mani) bagi anak laki-laki dan haid bagi anak perempuan(5).
Digugurkan kewajiban shalat ini dari wanita yang sedang haid dan nifas. Bahkan haram bagi mereka mengerjakan shalat sampai suci dari haid atau nifas. Rasulullah Shalallahu'alaihi Wa Sallam bersabda ketika ada yang bertanya sebab kaum wanita dikatakan kurang agama dan akalnya: “Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. Maka itulah yang dikatakan kurang agamanya(6).” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 238)

Terhadap shalat yang mereka tinggalkan dalam masa keluarnya darah tersebut, tidak ada keharusan untuk menggantinya (meng-qadha) di hari yang lain saat suci, berdasarkan hadits Aisyah Radhiallahu'anha ketika ada seorang wanita bertanya kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha shalatnya bila telah suci dari haid?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi Shalallahu'alaihi Wa Sallam namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 709)

Faedah

Orang yang tertidur atau lupa hingga terluputkan shalat wajib darinya, maka ia mengerjakan shalat yang luput tersebut ketika terbangun atau ketika ia ingat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shalallahu'alaihi Wa Sallam: “Siapa lupa dari mengerjakan satu shalat (fardhu) maka hendaklah ia kerjakan shalat tersebut ketika ingat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 684)
Dalam riwayat Muslim (no. 1567):
Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan shalat tersebut ketika ia ingat (terjaga dari tidur).

Shalat Anak Kecil

Walaupun anak kecil belum diwajibkan mengerjakan shalat hingga ia besar atau baligh, namun dituntut dari walinya (orangtua atau pihak yang bertanggung jawab mengasuh anak tersebut) agar memerintahkan si anak mengerjakan shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun, dan menghukumnya dengan pukulan bila ia meninggalkannya ketika telah berusia sepuluh tahun dalam rangka pengajaran dan latihan, bukan karena pewajiban.

Rasulullah Shalallahu'alaihi Wa Sallam bersabda: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila meninggalkan shalat pada saat mereka telah berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud no. 495 dan lainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud dan Irwa`ul Ghalil no. 247)

Al-Imam As-Syaukani berkata, “Hadits ini menunjukkan wajibnya memerintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat bila mereka telah mencapai usia tujuh tahun, dan mereka dipukul bila tidak mau mengerjakannya pada usia sepuluh tahun….” (Nailul Authar,1/413)

Hukum Meninggalkan Shalat

Bila yang meninggalkan shalat tersebut tidak meyakini kewajiban shalat maka ulama sepakat bahwa orang tersebut kafir menurut nash/dalil yang ada(7) dan ijma’. Namun bila meninggalkannya karena malas maka ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

Al-Imam An-Nawawi berkata, “Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya maka orang itu kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. Ia keluar dari Islam(8), kecuali jika orang itu baru masuk Islam dan tidak berkumpul dengan kaum muslimin sesaat pun yang memungkinkan sampainya berita tentang wajibnya shalat padanya dalam masa tersebut. Bila ia meninggalkan shalat karena malas-malasan sementara ia meyakini akan kewajibannya –sebagaimana keadaan kebanyakan manusia, mereka tidak mengerjakan shalat karena malas padahal tahu hukum shalat tersebut– maka ulama berbeda pendapat dalam masalah ini(9).” (Al-Minhaj, 2/257)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.



1 “Ketenangan bagi mereka”, maksudnya kata Ibnu ‘Abbas c: “Rahmat bagi mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 6/465)
2 Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 589.
3 Sehingga dalam hal ini, batil dan sesatlah bila ada yang memaknakan shalat dengan doa. Akibatnya ia enggan mengerjakan shalat sebagaimana yang dituntunkan, sembari mengatakan, “Cukup bagi kita berdoa, tanpa melakukan gerakan-gerakan berdiri, rukuk, dan sujud serta tanpa membaca bacaan-bacaan shalat.”
4 Karena ada yang dinamakan shalat nafilah atau shalat tathawwu’ atau yang lebih kita kenal dengan shalat sunnah.5 Tanda-tanda baligh tidak terbatas dengan hal ini, karena ada anak perempuan telah mencapai usia dewasa namun belum baligh karena mungkin ada penyakit pada dirinya, maka masa balighnya dilihat pada tanda yang lain. Demikian pula anak laki-laki, ada tanda baligh yang lainnya seperti suaranya berubah, tumbuh rambut pada kemaluan, dan sebagainya.
6 Adapun wanita nifas hukumnya sama dengan wanita haid.
7 Seperti hadits Jabir bin Abdillah c ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi n bersabda:
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242)
8 Orang yang menentang kewajiban shalat dihukumi kafir karena ia mendustakan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Rasulullah Shalallahu'alaihu Wa Sallam berikut ijma’ kaum muslimin.
9 Akan datang pembahasan tersendiri dalam edisi mendatang –Insya Allah– tentang hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan.

Sumber : asysyariah
Baca selengkapnya

Anak Masa Depan Umat Islam

Penulis: Al - Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsari -hafidzhahullah-

Anak adalah harapan di masa yang akan datang. Kalimat ini seringkali kita dengar dan sangat lekat di benak kita. Tak ada yang memungkiri ucapan itu karena memang ia sebuah kenyataan bukan hanya sekadar ungkapan perumpamaan, benar-benar terjadi bukan sebatas khayalan belaka. Karenanya, sudah semestinya memberikan perhatian khusus dalam hal mendidiknya sehingga kelak mereka menjadi para pengaman dan pelopor masa depan umat Islam.

Lingkungan pertama yang berperan penting menjaga keberadaan anak adalah keluarganya sebagai lembaga pendidikan yang paling dominan secara mutlak, kemudian kedua orang tuanya dengan sifat-sifat yang lebih khusus. Sesungguhnya anak itu adalah amanat bagi kedua orang tuanya. Di saat hatinya masih bersih, putih, sebening kaca jika dibiasakan dengan kebaikan dan diajari hal itu maka ia pun akan tumbuh menjadi seorang yang baik, bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan kejelekan dan hal-hal yang buruk serta ditelantarkan bagaikan binatang, bukan mustahil dia akan tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian rusak dan hancur. Kerugian mana yang lebih besar yang akan dipikul kedua orang tua dan umat umumnya apabila meremehkan pendidikan anak-anaknya.

Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah, “Bila terlihat kerusakan pada diri anak-anak, mayoritas penyebabnya adalah bersumber dari orang tuanya.”

Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita dengan firmanNya, “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At Tahrim: 6).

Berkata Amirul Mukminin Ali Radiyallahu ‘anhu, “Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga-keluarga kalian kebaikan dan bimbinglah mereka.”.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dipertanggungjawabkan, seorang imam adalah pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan akan diminta pertanggungjawabannya, seorang wanita pemimpin dalam rumah suaminya dan ia bertanggungjawab, dan seorang budak adalah pemimpin dalam hal harta tuannya dan ia bertanggungjawab. Ketahuilah bahwa kalian semua adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawabannya.” (HR Bukhari dan Muslim dari sahabat Abdullah ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu).

Dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala akan mempertanyakan pada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya ataukah menyia-nyiakannya? Hingga seseorang akan bertanya kepada keluarganya.” (HR Ibnu Hibban, Ibnu Ady dalam Al Kamil, dan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah dan dishahihkan oleh Al Hafizh dalam Al Fath 13/113).

Demikian pula dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu.” Sikap adil dan kasih sayang terhadap anak adalah dengan mengajari mereka kebaikan, para orangtua menjadikan dirinya sebagai madrasah bagi mereka.

Keluarga, terlebih khusus kedua orang tua dan siapa saja yang menduduki kedudukan mereka adalah unsur-unsur yang paling berpengaruh penting dalam membangun sebuah lingkungan yang mempengaruhi kepribadian sang anak dan menanamkan tekad yang kuat dalam hatinya sejak usia dini. Seperti Zubair bin Awam, misalnya. Ia adalah salah seorang dari pasukan berkudanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam yang dinyatakan oleh Umar ibnul Khattab, “Satu orang Zubair menandingi seribu orang laki-laki.” Ia seorang pemuda yang kokoh aqidahnya, terpuji akhlaqnya, tumbuh di bawah binaan ibunya Shafiyah binti Abdul Mutholib, bibinya Rasulullah, dan saudara perempuannya Hamzah.

Ali bin Abi Tholib sejak kecil menemani Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, bahkan dipilih menjadi menantunya. Ia tumbuh sebagai seorang pemuda sosok teladan bagi para pemuda seusianya di bawah didikan ibunya Fathimah binti Asad dan yang menjadi mertuanya Khadijah binti Khuwailid. Begitu pula dengan Abdullah bin Ja’far, seorang bangsawan Arab yang terkenal kebaikannya, di bawah bimbingan ibunya Asma binti Umais.

Orang tua mana yang tidak gembira jika anaknya tumbuh seperti Umar ibnu Abdul Aziz. Pada usianya yang masih kecil ia menangis, kemudian ibunya bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Aku ingat mati.” – waktu itu ia telah menghafal Al Qur’an – ibunya pun menangis mendengar penuturannya. Berkat didikan dan penjagaan ibunya yang shalihah Sufyan Ats Tsauri menjadi ulama besar, amirul mukminin dalam hal hadits. Saat ia masih kecil ibunya berkata padanya, “Carilah ilmu, aku akan memenuhi kebutuhanmu dengan hasil tenunanku.” Subhanallah! Anak-anak kita rindu akan ucapan dan kasih sayang seorang ibu yang seperti ini, seorang ibu yang pandangannya jauh ke depan. Seorang ibu yang super arif dan bijaksana.

Para pembaca -semoga dirahmati Allah- lihatlah bagaimana para pendahulu kita yang shalih, mereka mengerahkan segala usaha dan waktunya dalam rangka men-tarbiyah anak-anaknya yang kelak menjadi penentu baik buruknya masa depan umat. Jangan sampai seorang pun di antara kita berprasangka mencontoh para pendahulu yang shalih adalah berarti kembali ke belakang, kembali ke zaman baheula (istilah orang Sunda).

Di saat orang-orang berlomba-lomba meraih gengsi modernisasi, ketahuilah bahwa mencontoh sebaik-baik umat yang dikeluarkan ke tengah-tengah manusia adalah berarti satu kemajuan yang pesat, teknologi canggih dalam membangun aqidah yang benar, memperbaiki moral yang bejat serta membendung semaraknya free children sehingga mengantarkan kepada apa yang telah diraih oleh generasi yang mulia yang tiada tandingannya. Meniti jalannya mereka dalam rangka men-tarbiyah/mendidik anak berarti tengah mempersiapkan konsep perbaikan umat di masa yang akan datang, dimana tidak akan pernah menjadi baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang menjadikan baik generasi umat pertama. Allah berfirman, “Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu, maka apakah kamu tiada memahaminya.” (QS Al Anbiyaa: 10).

Perhatian serius dan tarbiyah yang benar kini sangatlah dibutuhkan di zaman yang dipenuhi berbagai fitnah, fitnah syahwat dan syubhat yang terus memburu anak-anak kita dari segala arah dihembuskan oleh da’i-da’i sesat yang berada di pintu-pintu neraka jahanam. Allah berfirman, “… sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (QS An Nisaa: 27).

Benarlah apa yang dikatakan dalam sebuah syair:

Siapa menggembala kambing di tempat rawan binatang buas
Kemudian lalai darinya, singa akan merebut gembalaannya.

Para pembaca -semoga dirahmati Allah- Islam sebagai agama yang universal tentu tidaklah mengesampingkan tarbiyah anak. Bahkan tarbiyah anak adalah sorotan utama dalam Islam sebab Islam adalah agama tarbiyah. Dengan posisi tarbiyah anak yang demikian pentingnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabadikan wasiat Luqman, seorang hamba yang shalih, kepada anaknya sebagai acuan bagi para murobbi/pendidik, begitu pula dengan sosok pribadi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai seorang Rasul sekaligus menjadi imam para murobbi dunia.

Perhatian dan kecintaannya terhadap anak-anak sangatlah tinggi, terlihat saat beliau mengajari Ibnu Abbas di usianya yang muda belia sehingga tampillah Ibnu Abbas menjadi sosok pemuda yang berilmu, bertaqwa, dan memiliki keberanian yang luar biasa. Salah satu bentuk kasih sayangnya terhadap anak, beliau selalu mencium anak-anak bila berjumpa, sebagaimana dalam Shahih Bukhari dari sahabat Abu Hurairoh, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mencium Hasan …”, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam Shohihnya dari sahabat Aisyah radliyallahu ‘anha berkata, “Seorang badui datang menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan berkata: Kalian selalu menciumi anak-anak, sedangkan kami tidak pernah menciuminya.” Lalu Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata, “Kami menginginkan agar Allah mencabut kasih sayang dari hatimu.”, tidak ada bahan pengajaran yang paling baik dan sempurna kecuali yang bersumber dari kitab dan sunnah karena di situlah adanya ilmu yang mencakup segala bidang, seperti ungkapan Imam Syafi’i:

Ilmu itu adalah ucapan Allah dan ucapan Rasul-Nya
Sedang selain dari itu adalah bisikan-bisikan syaithan.

Alangkah baik bila penulis uraikan beberapa langkah dasar dalam mendidik anak yang disarikan dari Al-Kitab dan Sunnah.

Pertama: mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selain-Nya, tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Ini pendidikan yang paling urgen (penting) di atas hal-hal penting lainnya.

Kedua: mengajari mereka sholat dan membiasakannya berjamaah.

Ketiga: mengajari mereka agar pandai bersyukur kepada Allah, kepada kedua orang tua, dan kepada orang lain.

Keempat: mendidik mereka agar taat kepada kedua orang tua dalam hal yang bukan maksiat, setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang mutlak.

Kelima: menumbuhkan pada diri mereka sikap muraqabah merasa selalu diawasi Allah. Tidak meremehkan kemaksiatan sekecil apa pun dan tidak merendahkan kebaikan walau sedikit.

Keenam: memberitahu mereka akan wajibnya mengikuti sabilul mukminin al muwahhidin (jalannya mukminin yang bertauhid), salafush shalih generasi terbaik umat ini, dan memberikan loyalitas kepada mereka.

Ketujuh: mengarahkan mereka akan pentingnya ilmu Al Kitab dan Sunnah.

Kedelapan: menanamkan pada jiwa mereka sikap tawadlu, rendah hati, dan rujulah serta syaja’ah (kejantanan dan keberanian). Dan masih banyak lagi selain apa yang penulis uraikan di sini. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita anak-anak yang sholih. Amin ya Mujiibas sailiin. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al Furqoon: 74).

Para pembaca -semoga dirahmati Allah- begitulah memang seharusnya pendidikan anak ini menjadi kewajiban nomor satu bagi para orang tua, menelantarkannya berarti menelantarkan amanat dan kepercayaan Allah, membiarkannya adalah berarti membiarkan kehancuran anak, orang tuanya, umat, bangsa, dan negara. Adapun mendidiknya adalah cahaya masa depan umat yang cerah yang berarti juga mengangkat derajat sang anak dan derajat kedua orangtuanya di surga. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Akan diangkat derajat seorang hamba yang sholih di surga. Lalu ia akan bertanya-tanya: Wahai Rabb apa yang membuatku begini?” Kemudian dikatakan padanya, “Permohonan ampun anakmu untukmu.” (HR Ahmad dari sahabat Abu Hurairah).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS Ath Thuur: 21).

Allah-lah yang memberi taufiq kepada apa yang dicintai-Nya dan diridlai-Nya.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wal Ilmu indallah.

Sumber : abatatsa
Baca selengkapnya

Menjaga Lisan dari Mengutuk atau Melaknat

Penulis : Al - Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyah -hafidzhahullah-  

Kata laknat yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia memiliki dua makna dalam bahasa Arab :

Pertama : Bermakna mencerca.

Kedua : Bermakna pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah.

Ucapan laknat ini mungkin terlalu sering kita dengar dari orang-orang di lingkungan kita dan sepertinya saling melaknat merupakan perkara yang biasa bagi sementara orang, padahal melaknat seorang Mukmin termasuk dosa besar. Tsabit bin Adl Dlahhak radhiallahu ‘anhu berkata :

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464)

Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : (("Fahuwa Kaqatlihi”/Maka ia seperti membunuhnya)) dijelaskan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari : “Karena jika ia melaknat seseorang maka seakan-akan ia mendoakan kejelekan bagi orang tersebut dengan kebinasaan.”

Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang yang ia benci bahkan orang yang sedang berpekara dengannya, sama saja apakah itu anaknya, suaminya, hewan atau selainnya.

Sangat tidak pantas bila ada seseorang yang mengaku dirinya Mukmin namun lisannya terlalu mudah untuk melaknat. Sebenarnya perangai jelek ini bukanlah milik seorang Mukmin, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabnya Al Adabul Mufrad halaman 116 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah dalam Kitabnya Ash Shahih Al Musnad 2/24)

Dan melaknat itu bukan pula sifatnya orang-orang yang jujur dalam keimanannya (shiddiq), karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak pantas bagi seorang shiddiq untuk menjadi seorang yang suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)

Pada hari kiamat nanti, orang yang suka melaknat tidak akan dimasukkan dalam barisan para saksi yang mempersaksikan bahwa Rasul mereka telah menyampaikan risalah dan juga ia tidak dapat memberi syafaat di sisi Allah guna memintakan ampunan bagi seorang hamba. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Orang yang suka melaknat itu bukanlah orang yang dapat memberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu ‘anhu)

Perangai yang buruk ini sangat besar bahayanya bagi pelakunya sendiri. Bila ia melaknat seseorang, sementara orang yang dilaknat itu tidak pantas untuk dilaknat maka laknat itu kembali kepadanya sebagai orang yang mengucapkan.

Imam Abu Daud rahimahullah meriwayatkan dari hadits Abu Darda radhiallahu ‘anhu bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila seorang hamba melaknat sesuatu maka laknat tersebut naik ke langit, lalu tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu turun ke bumi lalu ia mengambil ke kanan dan ke kiri. Apabila ia tidak mendapatkan kelapangan, maka ia kembali kepada orang yang dilaknat jika memang berhak mendapatkan laknat dan jika tidak ia kembali kepada orang yang mengucapkannya.”

Kata Al Hafidh Ibnu Hajar hafidhahullah tentang hadits ini : “Sanadnya jayyid (bagus). Hadits ini memiliki syahid dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan. Juga memiliki syahid lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Para perawinya adalah orang-orang kepercayaan (tsiqah), akan tetapi haditsnya mursal.”

Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam larangan melaknat ini yakni kita boleh melaknat para pelaku maksiat dari kalangan Muslimin namun tidak secara ta’yin (menunjuk langsung dengan menyebut nama atau pelakunya). Tetapi laknat itu ditujukan secara umum, misal kita katakan : “Semoga Allah melaknat para pembegal jalanan itu… .”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.

Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki dan masih banyak lagi. Berikut ini kami sebutkan beberapa haditsnya : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu/konde) dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengabarkan :

Allah melaknat wanita yang membuat tato, wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang mencabut alisnya, wanita yang minta dicabutkan alisnya, dan melaknat wanita yang mengikir giginya untuk tujuan memperindahnya, wanita yang merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya)

Dibolehkan juga melaknat orang kafir yang sudah meninggal dengan menyebut namanya untuk menerangkan keadaannya kepada manusia dan untuk maslahat syar’iyah. Adapun jika tidak ada maslahat syar’iyah maka tidak boleh karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah meninggal karena mereka telah sampai/menemui (balasan dari) apa yang dulunya mereka perbuat.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Setelah kita mengetahui buruknya perangai ini dan ancaman serta bahayanya yang bakal diterima oleh pengucapnya, maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Janganlah kita membiasakan lisan kita untuk melaknat karena kebencian dan ketidaksenangan pada seseorang. Kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menjaga dan membersihkan lisan kita dari ucapan yang tidak pantas dan kita basahi selalu dengan kalimat thayyibah. Wallahu a’lam bis shawwab.

(Dikutip dari MUSLIMAH Edisi 37/1421 H/2001 M Rubrik Akhlaq, MENJAGA LISAN DARI MELAKNAT Oleh : Ummu Ishaq Al Atsariyah. Terjemahan dari Kitab Nasihati lin Nisa’ karya Ummu Abdillah bintu Syaikh Muqbil Al Wadi’iyyah dengan beberapa perubahan dan tambahan)

Sumber : akhwat
Baca selengkapnya

Doa Ketika Akan Tidur dan Bangun Tidur

Dari Hudzaifah Ibnul Yamân radhiyallâhu ‘anhumâ, beliau berkata, “Adalah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bila hendak tidur, beliau membaca :

اسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَا

‘Bismikallâhumma amûtu wa ahyâ (Dengan nama-Mu, Ya Allah saya mati dan saya hidup).’

Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan :

الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

‘Alhamdulillâhilladzî ahyânâ ba’da mâ amâtanâ wa ilaihin nusyûr (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya lah tempat kembali).’.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhary]
Baca selengkapnya

Tuntunan Praktis Puasa Enam Hari Di Bulan Syawal

Penulis : Al - Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani -hafidzhahullah-

Puasa enam hari di bulan syawal merupakan amalan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Amalan ini disunnahkan oleh beliau agar puasa ramadhan kita semakin lengkap pahala dan keutamaannya. Dari Abu Ayub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر)

Barangsiapa yang berpuasa ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (berpuasa) enam hari di (bulan) Syawal, jadilah laksana berpuasa sepanjang tahun.”(HR. Muslim)

Disebutkan di dalam hadits ini bahwa hal itu laksana berpuasa sepanjang tahun, karena setiap satu kebaikan digandakan pahalanya dengan sepuluh kali lipat. Dalam sebuah riwayat datang dengan lafazh:


(جعل الله الحسنة بعشر أمثالها فشهر بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بعد الفطر فذالك تمام السنة)

Allah menjadikan satu kebaikan dengan sepuluh kali lipat yang semisalnya, maka satu bulan (sebanding) dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari melengkapi setahun penuh.” (HR. Nasai dan Ibnu Majah dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Shahih At Targhib Wat Tarhib 1/421)

Beberapa hukum seputar puasa enam hari di bulan Syawal:

  • Hukumnya adalah sunnah mustahabbah ( bukan wajib) menurut jumhur ulama dari kalangan salaf maupun khalaf.
  • Rentang waktunya dimulai dari hari kedua sampai hari terakhir dari bulan Syawal.
  • Seorang yang melakukan puasa enam hari di bulan Syawal ini, setiap harinya dia harus meniatkan puasa dari malam harinya, sehingga dia teranggap puasa satu hari penuh, dan demikianlah setiap harinya bila dia hendak berpuasa sampai selesai enam hari puasa secara penuh.
  • Tidak dibenarkan seseorang menggabungkan niat membayar hutang puasa ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawal ini, karena keduanya adalah dua amalan yang berbeda.
  • Diperbolehkan bagi yang melakukannya untuk menggabungkan niat mengerjakan puasa ini dan niat melakukan puasa sunnah yang lain, bila memang waktunya bertepatan, seperti puasa senin kamis atau yang lainnya.
  • Diperbolehkan bagi yang melakukannya, baik di awal bulan, pertengahan bulan, maupun di akhir bulan selama masih di bulan Syawal.
  • Diperbolehkan bagi yang melakukannya, baik secara berturut- turut selama enam hari atau secara terpisah-pisah selama masih di bulan Syawal.
  • Yang paling utama adalah melakukannya di awal bulan (terlebih bila dimulai pada hari kedua Syawal) dan secara berturut-turut sampai sempurna enam hari. Hal itu dikarenakan keutamaan bersegera kepada kebaikan dan keampuanan Allah.
  • Bila yang melakukan puasa ini bertepatan dengan hari sabtu, maka tidak mengapa jika dia telah berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, menurut pendapat mayoritas para ulama. Hal itu karena hadits Juwairiyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah masuk ke tempatnya pada hari jum’at dalam keadaan Juwairiyah sedang berpuasa, lalu beliau bertanya:

    (أصمت أمس؟ قلت: لا، قال: أتريدين أن تصومي غدا؟ قلت: لا، قال: فافطري)

    Apakah kemarin engkau berpuasa? Aku menjawab: tidak. Beliau kembali bertanya: apakah besok engkau ingin berpuasa? Aku menjawab: tidak. Maka beliau bersabda: hendaklah engkau berbuka.” (HR. Bukhari)
  • Wanita yang bersuami tidak boleh melakukannya kecuali dengan izin suaminya, baik secara eksplisit atau implisit, jika memang suaminya masih satu kota bersamanya. Hal itu karena hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    (لا يحل للمرأة أن تصوم و زوجها شاهد إلا بإذنه)

    Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya menyaksikan kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafazhnya dalam riwayat Bukhari)

    Ditambahkan dalam riwayat Abu Daud: “Selain ramadhan”. Dalam riwayat Tirmidzi dengan lafazh: “Janganlah seorang wanita berpuasa satu hari selain ramadhan sedangkan suaminya menyaksikan kecuali dengan seizinnya.
  • Bila si wanita tetap berpuasa meskipun suaminya tidak mengizinkan, maka wanita itu berdosa tetapi puasanya tetap sah menurut pendapat mayoritas para ulama.
  • Bila seseorang telah berpuasa sebagiannya, kemudian dia tidak menyempurnakannya sebanyak enam hari sampai bulan Syawal berakhir, maka dia tidak terhitung dari orang yang mendapatkan pahalanya, dan tidak ada qadha’ atasnya.
  • Hendaknya orang yang sudah memulai puasa ini menyempurnakannya sebanyak enam hari. Tidak sepantasnya dia mengerjakan sebagiannya, kemudian dia tinggalkan dan tidak menyempurnakannya, kecuali bila memang ada sesuatu yang benar-benar menghalanginya untuk hal itu, supaya dia bisa mendapatkan pahalanya dengan sempurna.
  • Bagi orang yang masih mempunyai hutang puasa ramadhan, maka hendaklah dia membayar hutang puasanya terlebih dahulu sebelum dia melaksanakan puasa ini. Hal itu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan: “barangsiapa yang berpuasa ramadhan kemudian mengikutkannya dengan puasa enam hari di (bulan) Syawal”. Orang yang masih mempunyai hutang puasa ramadhan, belum terhitung orang yang puasa ramadhan secara penuh, sampai dia membayar hutang puasanya itu.
  • Barangsiapa yang tetap melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, baik secara penuh atau sebagiannya, sebelum dia membayar hutang puasa ramadhannya, maka puasanya itu terhitung hanya puasa sunnah secara muthlaq, dia tidak mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan syawal yang telah dijanjikan.

Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber : Al - Maidani
Baca selengkapnya

Kemuliaan Rasa Malu


Penulis : Al- Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani -hafidzhahullah-

Rasa malu merupakan sifat yang mulia, warisan dari para nabi ‘alaihimus salam. Oleh karena itu, Sifat yang agung ini telah diwarisi secara turun temurun oleh orang-orang shalih dari satu umat kepada umat yang lainnya. Dari satu generasi kepada generasi yang berikutnya. Demikianlah, sampai ajaran rasa malu itu diwarisi oleh pendahulu umat ini yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshari, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)

“Sesungguhnya termasuk yang masih didapatkan oleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka.” (HR. Al-Bukhari)

Rasa malu adalah sifat yang mulia. Rasa malu, seluruhnya adalah kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan profile yang menjadi panutan dan tauladan dalam perihal rasa malu. Bahkan sampai disebutkan bahwa beliau lebih pemalu dari gadis pingitan yang berada dalam kamarnya. Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lebih daripada itu, para malaikat juga memiliki rasa malu. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditemui oleh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Waktu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersingkap bagian pahanya sehingga terbuka. Maka beliau pun bergegas membenahi dirinya tatkala utsman masuk kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun ditanya tentang sikapnya yang demikian, maka beliau menjawab:

أَلاَ أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ

“Bagaimana aku tidak malu kepada seseorang yang para malaikat pun merasa malu kepadanya.” (HR. Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa rasa malu merupakan sifat para malaikat. Maka sebagaimana dalam hadist Abu Mas’ud Al Anshari diatas, bahwa orang yang tidak punya rasa malu, dia akan terjatuh pada perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik secara hukum syar’i maupun dalam tinjaun adat kebiasan manusia.

Pernyataan beliau shallallahu ’alaihi wasallam: “apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engakau suka”, di kalangan para ulama, ada tiga pengertian dalam memahaminya:
  1. Pengertian yang pertama
    Sebagian ulama memahami bahwa maksud perintah di sini “apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka”, adalah sebagai ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka, sesungguhnya Allah yang akan membalas perbuatanmu. Hal ini seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

    “Perbuatlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (Fushilat: 40)

    Maksud ayat ini adalah ancaman. Yakni Allah yang akan melihat dan mengawasi apa yang kalian kerjakan, maka perbuatlah apa yang kalian kehendaki. Niscaya Allah akan menghitung dan membalas perbuatan kalian itu. Maka menurut pendapat ini bahwa makna hadits diatas adalah ancaman. Berarti perintah berbuat sesuka hati bila tidak memiliki rasa malu merupakan ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  2. Pengertian yang kedua
    Menurut sebagian ulama yang lain bahwa perintah di sini maksudnya adalah untuk pembolehan. Artinya, jika engkau tidak malu kepada Allah dan Rasul-Nya serta manusia, maka lakukanlah apa yang engkau suka tersebut, Karena hal itu menunjukkan akan kebolehannya. Namun jika engkau malu kepada Allah dan Rasul-Nya serta manusia, maka janganlah engkau melakukannya”. Ini adalah pendapat Imam An Nawawi rahimahullah.
  3. Pengertian yang ketiga
    Menurut sebagian ulama yang lain bahwa perintah di sini maksudnya adalah pemberitaan. Artinya, pernyataan: ”apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau suka”, merupakan pemberitaan bahwa orang yang tidak punya rasa malu akan melakukan segala perkara yang baik maupun buruk. Seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

    مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ 

    Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka.” (HR. Muslim)

    Ini bukan perintah yang menunjukkan kewajiban. Tetapi perintah yang bermakna pemberitaan bahwa orang yang berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berarti dia telah mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka. Demikian pula dalam hadits ini bahwa orang yang tidak punya rasa malu, niscaya dia akan berbuat sesukanya. Barangkali dia akan melakukan perkara yang maksiat, jelek, keji, bahkan bisa jadi kekafiran dan kesyirikan sekalipun, karena dia tidak lagi punya rasa malu.
Al-Khaththabi rahimahullah menerangkan mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitakannya dengan kata perintah. Beliau rahimahullah berkata: “Ketika rasa malu itu mencegah dari perbuatan yang jelek, maka orang yang tidak punya rasa malu, seolah-olah dia diperintah oleh tabiatnya untuk berbuat sesukanya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di sini menggunakan kata perintah dan tidak menggunakan kata yang menunjukkan pemberitaan”. (lihat Fathul Baari oleh Ibnu Hajar Al ’Asqolaani rahimahullah 3/139)

Rasa malu adalah akhlak yang mulia, akhlak yang dimiliki oleh orang-orang yang baik. Setiap orang yang memiliki rasa malu niscaya akan tercegah dari perkara-perkara buruk dan jelek yang dimurka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya serta dibenci oleh manusia.

Rasa malu itu sendiri terbagi dua. Ada rasa malu yang menjadi sifat pembawaan atau tabiat yang merupakan karunia dan pemberian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini diistilahkan dengan rasa malu yang tidak diupayakan. Bisa jadi ada sebagian orang yang meninggalkan perkara-perkara yang buruk dan jelek bukan karena dia paham dan komitmen kepada agamanya. Akan tetapi lebih disebabkan rasa malu untuk melakukannya. Sehingga dia meninggalkannya bukan karena dorongan agama tapi disebabkan faktor rasa malu yang memang Allah ciptakan pada dirinya. Tabiat ini merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dilimpahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah maha memiliki keutamaan yang besar.

Rasa malu yang kedua adalah rasa malu yang bisa diupayakan. Maksudnya adalah rasa malu yang lahir karena merasa selalu diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal itu bisa tewujud karena mengenal dzat Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat Nya yang Maha mulia dan agung. Dia malu kalau Allah melihatnya berbuat keburukan dan kejelekan. Maka dia berupaya menghindari perkara-perkara yang buruk dan jelek disebabkan rasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun secara tabi’at dan watak, dia bisa dan mungkin biasa melakukan keburukan dan kejelekan tersebut. Ini namanya rasa malu yang diupayakan dan yang dimaksud oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ

Rasa malu itu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam – sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma- pernah melewati seseorang dari kalangan anshar yang tengah menasihati saudaranya mengenai rasa malu. Maka Rasulullah bersabda:

دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ اْلإِيْمَانِ

Biarkan dia, karena sesungguhnya rasa malu itu termasuk dari keimanan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Rasa malu yang termasuk dari keimanan adalah rasa malu yang diupayakan karena merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apa pun keadaannya, seorang yang punya rasa malu secara tabiat dan kepribadian, memiliki modal dasar untuk menuju rasa malu yang diupayakan karena merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika rasa malu itu dicabut dari seseorang, baik rasa malu secara tabiat dan kepribadian maupun rasa malu yang memang disyari’atkan, maka akan lenyap berbagai kebaikan dari dirinya. Dia akan jatuh pada perbuatan-perbuatan yang buruk dan jelek, baik secara hukum syar’i maupun secara adat kebiasaan manusia.

Namun di sana sesungguhnya ada rasa malu yang tercela. Rasa malu yang tercela –sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah dan yang selainnya- yaitu rasa malu yang menghalangi seseorang untuk menunaikan hak dan kewajiban. Seseorang merasa malu dalam menuntut ilmu sehingga dia mengalami kebodohan dalam agamanya. Seseorang merasa malu untuk beribadah kepada Allah sehingga dia tidak menunaikan kewajibannya terhadap Allah. Seseorang merasa malu untuk menunaikan hak dirinya, hak keluarganya, hak kaum muslimin. Maka semua rasa malu itu adalah rasa malu yang tercela. Karena rasa malu yang seperti ini merupakan kelemahan dan kecerobohan. (lihat Fathul Baari 3/138)

Sedangkan yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

الْحَيَاءُ لا يأتي إلا بخَيْرٍ

Rasa malu itu tidak membawa kecuali kepada kebaikan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Yaitu rasa malu yang membawa kepada keimanan serta tidak melalaikan hak dan kewajiban. Lalu mengapa rasa malu yang menghalangi seseorang dari kebaikan disebut sebagai rasa malu? Hal itu karena rasa malu ini menyerupai rasa malu yang yang disyari’atkan. Padahal hakekatnya, rasa malu yang menghalangi dari kebaikan adalah tercela di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka orang yang mempunyai rasa malu akan terhalangi dari perkara-perkara yang buruk dan jelek, baik rasa malu yang berlaku secara tabi’at maupun rasa malu yang lahir karena keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika kita mau memperhatikan kondisi dan keadaan manusia secara cermat, niscaya kita akan mendapati realita bahwa berbagai keburukan dan kejelekan terjadi, baik yang berupa kekafiran, kesyirika, kebid’ahan, dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar, dikarenakan mereka telah kekurangan bahkan kehilangan rasa malu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika rasa malu dengan kedua jenisnya telah hilang dari seseorang maka tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan darinya. Bahkan bisa jadi dirinya telah berubah menjadi syaithan yang terkutuk. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan keampunan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber : Al - Maidani
Baca selengkapnya

Hiburan bagi yang Dilanda Kemiskinan

Penulis : Al - Ustadz Fauzan Abu Muhammad Al-Kutawy -hafidzhahullah-


Sesungguhnya kekayaan dan kemiskinan adalah suatu perkara yang telah ditetapkan oleh Allah -Subhanahu wa ta’ala- bagi para hamba-Nya, untuk melihat siapakah diantara mereka yang bersyukur terhadap karunia yang diberikan kepadanya dan siapakah yang tidak mensyukurinya.
Dari Sulaim As Sulamy -radhiyallahu ‘anhu- berkata;  Rasulullah -Shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إن الله يبتلي عبده بما أعطاه، فمن رضي بما قسم له، بارك الله له فيه ووسعه، ومن لم يرض لم يبارك فيه.
رواه أحمد وصححه الألباني في الصحيحة.
Sesungguhnya Allah menguji seorang hamba dengan perkara yang diberikan kepadanya, siapa yang ridha dengan pembagian tersebut untuknya maka Allah akan memberkahi baginya pemberian tersebut  dan akan meluaskannya, jika ia tidak ridha maka Allah tidak akan memberkahi pemberian tersebut“. (HR. Ahmad (5/24) dan dishahihkan Syeikh Al Albany dlm Ash Shahihah (1658)).
Dan Allah -Subhanahu wa ta’ala- berfirman:
والله فضل بعضكم على بعض في الرزق…الأية
(النحل؛ ٧١)
Dan Allah telah melebihkan rezeki sebagian kalian dari yang lainnya…“.  (QS. An Nahl: 71).
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya (7/2291);
Bahwasanya Umar bin Khaththab -radhiyallahu ‘anhu- pernah menulis sebuah surat kepada Abu Musa Al Asy’ari -radhiyallahu ‘anhu- yang berisi;
Bersifat Qana’ahlah (merasa ridha dan cukup atas pemberian Allah) engkau dengan rezekimu didunia ini, karena sesungguhnya Allah yang Maha Pengasih melebihkan sebagian hamba-Nya terhadap sebagian yang lainnya dalam hal rezeki untuk menguji mereka seluruhnya, maka Dia menguji dengannya orang-orang yang diluaskan rezekinya tentang bagaimana ia mensyukurinya, dan bentuk kesyukurannya kepada Allah itu adalah dengan menggunakannya dijalan yang benar yang diwajibkan atasnya“.
Dan ketetapan ini adalah sesuatu yang telah ada sebelum seorang hamba itu dilahirkan di permukaan bumi ini.
Dari Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- telah menceritakan kepadaku, dan Beliau adalah seorang yang jujur dan dibenarkan, Beliau bersabda:
إن أحدكم يجمع في بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم يكون علقة مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك ثم يبعث عليه ملكا فيؤمر بأربع كلمات، بكتب رزقه وأجله وشقي أو سعيد. متفق عليه.
Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dikumpulkan diperut ibunya empat puluh hari dalam bentuk nuthfah (sperma), lalu menjadi ‘alaqah (gumpalan darah) selama (empat puluh hari) itu pula, lalu menjadi mudlghah (segumpal daging) seperti itu pula, kemudian datanglah kepadanya malaikat, lalu diperintahkan untuk mencatat empat hal; ditetapkan rezekinya, ajalnya, sengsaranya atau bahagianya“. (Muttafaqun ‘alaih.)
Berkata Syeikh kami Muhammad bin Abdillah Al Imam -hafidzahullah-;
Dan dari perkara yang menentramkan hati seorang mukmin adalah; pengetahuannya bahwa Allah telah membagi rezeki-rezeki bagi para hamba-Nya sehingga seorang mukmin itu berserah kepada Allah terhadap takdir dan ketentuan-Nya, dan merasa qana’ah terhadap rezeki yang diberikan kepadanya serta mengerahkan jiwanya untuk bersegera terhadap sesuatu yang  ia diciptakan dengannya berupa peribadatan kepada Allah dan perkara yang sangat ia butuhkan yang tidak ada kebahagiaan di dunia dan di akhirat kecuali dengannya yaitu beramal dengan syari’at Allah dan bersegera dalam beribadah kepada Allah“. (Al ‘Adl Fil Amwal; 292).
Dan Allah -Subhanahu wa ta’ala- berfirman:
أهم يقسمون رحمت ربك، نحن قسمنا بينهم في الحياة الدنيا، ورفعنا بعضهم فوق بعض درجات. (الزخرف: ٣٢)
Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat tuhanmu??, Kamilah yang membagikannya diantara mereka dikehidupan dunia ini, dan kami mengangkat sebagian mereka beberapa derajat dari sebagian lainnya“. (Az Zuhruf; 32).
Ayat ini adalah penyejuk hati bagi orang-orang yang gundah gulana karena memikirkan ma’isyah(penghidupan) di dunia ini, yaitu ketika ia meyakini bahwa Allah lah yang telah menciptakannya dan telah menanggung rezekinya dipermukaan bumi ini sehingga rezeki itu tidaklah akan terlepas darinya selama nyawa masih dikandung badan.
Dari Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu ‘anhu- berkata; Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
لو أن أحدكم فر من رزقه لأدركه كما يدركه الموت.
رواه الطبراني في الأوسط وابن عدي في الكامل وحسنه الألباني في صحيح الترغيب.
Seandainya salah seorang diantara kalian lari dari rezekinya maka pasti rezeki tersebut akan menjumpainya sebagaimana kematian itu akan menjumpainya“. (HR. Ath Thabrani dlm Al Ausath (4444), Ibnu Adi dlm Al Kamil (6/2045) dan dihasankan Syeikh Al Albani dlm Shahih At Targhib (1704)).
Dan dari hadits Abu Darda’ -radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
إن الرزق ليطلب العبد كما يطلبه أجله.
رواه ابن أبي عاصم في السنة وحسنه الألباني في الصحيحة.
Sesungguhnya rezeki itu memburu seseorang hamba sebagaimana ajal itu memburunya“. (HR. Ibnu Abi Ashim dlm As Sunnah (1/117) dan dihasankan Syeikh Al Albany dlm Ash Shahihah (952))
Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata;
Kami bersama Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa sallam-, maka Beliau melihat seorang pengemis lalu Beliaupun memberikan kurma kepadanya dan Beliau bersabda;
لو لم تأتها لأتتك
Seandainya engkau tidak mendatanginya (yaitu; kurma tsb) maka ia (kurma itu) yang akan mendatangimu“. Berkata Al Wadi’iy -rahimahullah-; Hadits ini hasan, para perawinya rawi Ash Shahih. (Al Jami’us Shahih Fil Qadr; 234).
Dan didalam riwayat Ibnu Majah (2144) dan Al Hakim dlm Al Mustadrak (2/4) dari hadits Jabir -radhiyallahu ‘anhu-, bahwasanya Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda;
لا تستبطؤا الرزق فإنه لن يموت العبد حتى يبلغه آخر رزق هو له، فأجملوا في الطلب؛ أخذ الحلال وترك الحرام.
Janganlah kalian berputus asa dari rezeki, karena tidaklah seorang hamba itu akan mati sampai ia telah mendapatkan akhir dari jatah rezekinya, maka perbaikilah dalam mencari rezeki; carilah yang halal dan tinggalkan yang haram“.
Hadits ini dihasankan oleh Syeikh Muqbil dalam Ash Shahihul Musnad (250).
Dan masih banyak lagi hadits-hadits semisal ini, yang hal tersebut adalah penghibur dan perkara yang menenangkan seorang hamba tatkala ditimpakan kepadanya sebagian dari bentuk-bentuk kefakiran dan kemiskinan.
Apalagi jika dia mengetahui bahwasanya dirinya bukanlah satu-satunya orang yang diberikan kemiskinan didunia ini, bahkan disana banyak hamba-hamba Allah lainnya yang lebih diberikan kemiskinan darinya, oleh sebab itulah Nabi -Shalallahu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan kita untuk memiliki pola pikir seperti ini, Beliau bersabda;
إذا نظر أحدكم إلى من فضل عليه في المال والخلق فلينظر إلى من هو أسفل منه ممن فضل عليه.
متفق عليه.
Jika salah seorang diantara kalian melihat kepada seorang yang dilebihkan dalam harta dan postur tubuhnya, maka hendaklah ia melihat kepada orang yang dibawahnya“. (Muttafaqun ‘alaih, dari hadits Abu Hurairah).
Betapa indahnya tuntunan Nabi -shalallahu ‘alaihi wa sallam- ini, hilanglah kegelisahan serta keluhan terhadap manusia, yang ada adalah kesyukuran terhadap apa yang dikaruniakan oleh Allah -Subhanahu wa ta’ala-  kepada kita. Apalagi jika kita mengetahui keutamaan-keutamaan para fakir miskin baik di dunia maupun di akhirat kelak, tentu hal tersebut akan menambah kebahagiaan serta ketenangan jiwa bagi kita semua. Wallahu a’lam.
sumber: almakassari
Baca selengkapnya

Download Dauroh Sampit bersama Ustadz Abdul Mu'thi Hari Ketiga 2015

Silahkan di download file audio Dauroh Sampit bersama ustadz Abdul Mu'thi yang di selenggarakan oleh kajian sampit Ahlussunnah Wal Jama'aah pada bulan Maret 2015

Dauroh Sampit Ustadz Abdul Mu'thi hari ketiga sesi 1
download disini

Dauroh Sampit Ustadz Abdul Mu'thi hari ketiga sesi 2
download disini
Baca selengkapnya

Download Dauroh Sampit bersama Ustadz Abdul Mu'thi Hari Kedua 2015

Berikut ini link download dauroh sampit bersama Ustadz Abdul Mu'thi pada bulan Maret 2015

Dauroh Sampit Ustadz Abdul Mu'thi hari kedua sesi 1
download disini

Dauroh Sampit Ustadz Abdul Mu'thi hari kedua sesi 2
download disini

Dauroh Sampit Ustadz Abdul Mu'thi hari kedua sesi 3
download disini

Dauroh Sampit Ustadz Abdul Mu'thi hari kedua sesi 4
download disini
Baca selengkapnya

Download Dauroh Sampit bersama Ustadz Abdul Mu'thi Hari Pertama 2015

Berikut ini link untuk donwload dauroh sampit pada bulan Maret 2015

Dauroh Sampit Ustadz Abdul Mu'thi hari pertama 1
download disini

Dauroh Sampit Ustadz Abdul Mu'thi hari pertama 1b
download disini

Baca selengkapnya